AKSI BURUH PT.SANMINA-SCI BATAM
"Buruh Berjuang Sendiri"
Dalam Hubungan Industrial di Indonesia hari ini, suka tidak suka, percaya atau tidak percaya ... yang namanya buruh adalah rantai makanan dengan derajat paling rendah.
Pemerintah dan aparat dengan kekuasaannya lebih memilih untuk berpihak kepada Pengusaha. Dalam Aksi Mogok Kerja Serikat Pekerja FSPMI Sanmina-SCI Batam kita sudah merasakanya.
Semenjak awal rencana mogok kerja, PUK mengalami intimidasi dengan dipanggil oleh HRD ke dalam ruangan pertemuan yang ternyata didalamnya sudah lengkap hadir 3 instansi, Disnaker, Tunas Karya (mengaku sebagai Konsultan ketenagakerjaan) dan kepolisian (mengaku sebagai kanit intel). Rupanya isi pertemuan tsb ke tiga instansi dgn secara beramai-ramai mendukung keinginan manajemen sanmina untuk melemahkan rencana mogok kerja.
yang menarik adalah pihak yang mengaku konsultan dan pihak dinas tenaga kerja kompak berusaha menyamarkan rencana mogok kerja sebagai aksi yang tidak sesuai aturan undang undang dengan menggunakan kepmen 232 bahwa mogok kerja sebagai akibat gagalnya perundingan dan harus secara jelas dinyatakan dengan kalimat "jalan buntu/ deadlock/ sepakat tidak sepakat" didalam risalah perundingan.
Padahal yang namanya pengusaha hitam sampai kiamat pun tidak akan pernah menuliskan kalimat "jalan buntu" didalam risalah perundingan karena memang strategi awal dari konsultan kepada pengusaha hitam diarahkan agar dalam perundingan yang sudah berjalan 4 kali tidak ada satupun kallimat jalan buntu dituliskan.
Serikat Pekerja walaupun tidak pernah sekolah hukum tetapi masih bisa membaca, dan melihat kepmen tersebut hanya mensyaratkan gagalnya perundingan didalam risalah bukan harus tertulis "deadlock" tetapi cukup dengan memahami esensi yang tertera didalam risalah bahwa perundingan telah gagal dengan bukti bahwa pengusaha:
"hanya sebatas memenuhi aturan sebagai melayani pertemuan berunding tetapi didalam meja perundingan sebenarnya tidak mau sedikitpun berunding".
dan sekali lagi serikat pekerja walaupun tidak pernah sekolah hukum tetap masih bisa mendapatkan dasar hukum lain yang menguatkan syahnya mogok kerja akibat gagalnya perundingan dengan menggunakan UU no.2/2004 ttg. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang secara jelas menyatakan bahwa setelah perundingan bipartit yang gagal maka proses selanjutnya adalah mediasi ke tripartit, dalam hal ini adalah disnaker.
dengan manajemen telah mendaftarkan perselisihan ke jalur mediasi bahkan telah terjadi mediasi satu kali di disnaker maka tanpa perlu banyak argumentasi sebenarnya manajemen sanmina telah menyatakan sendiri bahwa perundingan bipartit telah gagal.
dengan berbekal keyakinan tersebut serikat menyatakan tetap akan menjalankan hak dasar serikat pekerja "Hak Mogok Kerja" per tanggal 24 Desember 2014.
Setelah gagal melemahkan keinginan serikat untuk tetap mogok kerja, selanjutnya banyak argumentasi digunakan 4 pihak menghadapi 1 pihak serikat pekerja untuk memundurkan tanggal mulai dari aksi mogok kerja, dengan meminta dimulainya aksi mogok tanggal 7 januari 2015.
dari mulai ancaman intimidasi penangkapan, hingga isu SARA berusaha di gulirkan dalam ruangan tersebut.
tetapi sekali lagi Serikat pekerja (diwakili oleh Sekertaris PUK Bung Dedd Surr dan Waka Perempuan Bing Melia Anggraini) bukan orang yang pernah sekolah hukum tetapi sangat percaya bahwa keadilan harus diperjuangkan dengan resiko apapun, dan tidak bergeming sedikitpun untuk melaksanakan hak mogok kerja per tanggal 24 desember 2014.
Setelah Mogok Kerja terlaksana hingga hari ke 10, dan pihak serikat meminta surat penegasan mogok yang sah, maka terbitlah surat penegasan Disnaker bahwa mogok kerja yang dilakukan sudah sesuai syarat syarat undang undang 13/2003 pasal 140.
tetapi sekali lagi keberpihan pemerintah rupanya hanya milik kaum Pemodal, dengan point ke dua dari penegasan bahwa mogok yang dilakukan serikat berdasarkan tuntutannya adalah tidak Normatif.
Saya sebagai Ketua Serikat sudah mengirim SMS protes keras kepada pihak Kadisnaker dan Kabid Saker isinya :
"Pak Zarefriadi Ref yang terhormat, mohon maaf kami protes keras dengan penetapan secara prematur dari disnaker bahwa "TUNTUTAN" mogok kerja yang kita lakukan tidak normatif. Padahal belum ada pertemuan baik bipartit maupun tripartit untuk membahas tuntutan serikat pekerja terkait mogok kerja yang sudah/sedang berlangsung. bahkan dalam surat pemberitahuan serikat hanya menyebutkan alasan mogok kerja, bukan "TUNTUTAN" mogok kerja".
Keberpihakan Kejam dan tanpa dasar dari pihak Disnaker yang berpotensi membunuh kehidupan ratusan buruh beserta anak anaknya!!!
Karena di hari 13 aksi mogok kerja dengan secara kejam pula Pengusaha hitam memotong upah buruhnya dengan menggunakan nota kejam disnaker.
Luarbiasa Disnaker Kota Batam!
Kami ingatkan sekali lagi kepada disnaker kota Batam!
1. Normatifnya moker tidak/belum bisa diputuskan tanpa dasar tuntutan yg belum pernah disebutkan sebelumnya oleh serikat pekerja.
2. Normatifnya moker tidak bisa diputuskan secara tergesa-gesa karena sesuai dengan Tuntutan Serikat Pekerja yang baru kami release di hari ke 13, ada pasal intimidasi yang dilanggar pengusaha asing (sangat normatif karena berdasarkan UU21/2000) dan harus terlebih dahulu dibuktikan sebelum dinyatakan tidak terbukti.
Cc:
Komisi IV DPRD Kota Batam Bpk. Ricky Indrakari
Ketua PCEE bung Yoni Mulyo Widodo
Sekertaris PCEE bung Frezi Anwar
Sekertaris KC bung Suprapto Spmi
Waka Hubungan Industrial PCEE bung Indra Syahlan
Dewan Pengupahan Khl, Umk sampai Ums
Dewan Pengupahan: Anomali Tugas dan Wewenangnya
by Setyo Pamungkas on January 28, 2013
Upah minimum adalah sesuatu yang luar biasa belakangan ini.
Indonesia terkenal dengan tenaga kerjanya yang murah dan jumlahnya sangat banyak.
Upah minimum (yang katanya adalah jaring pengaman sosial-safety nett) diacu sebagai besarnya biaya yang ditanggung oleh pengusaha.
Sudah pasti dan terbukti bahwa pengusaha atau perusahaan mencari peluang agar upah yang dibayarkannya tidak menyebabkan aktivitas produksinya terganggu dan menimbulkan kerugian lain.
Upah minimum muncul dari usulan dan pembahasan yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Secara yuridis, Dewan Pengupahan diatur di dalam Keputusan Presiden No. 107 tentang Dewan Pengupahan.
Masing-masing tingkatan Dewan Pengupahan, memiliki kewenangannya masing-masing pula.
Memaknai fungsi Dewan Pengupahan, tidak jauh beda dengan memaknai suatu lembaga quasi yang sebenarnya antara bisa dibutuhkan atau tidak.
Serba mungkin di negara ini, dan lebih-lebih serba dimungkinkan. Dewan Pengupahan merupakan manifestasi kepentingan bangsa dan negara ini untuk mendorong adanya kesepakatan-kesepakatan dalam menentukan arah dari (salah satu faktor) pertumbuhan ekonomi.
Satu-satunya fungsi yang nampak dari Dewan Pengupahan: ‘memberikan saran dan pertimbangan’ khususnya untuk upah bagi pekerja.
Landasan hukum bagi Dewan Pengupahan, yang utama adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meskipun undang-undang ini telah diuji-materiilkan beberapa kali, tidak menyurutkan niatan untuk tetap mengamankan ketentuan-ketentuan di dalamnya.
Turunan undang-undang ini, yang secara spesifik mengatur mengenai Dewan Pengupahan adalah Keppres 107 Tahun 2004.
>> Wewenang Dewan Pengupahan <<
Berdasarkan Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan terbagi atas Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Mengkaji mengenai Dewan Pengupahan memang serba aneh.
Dalam Keppres tersebut, Dewan Pengupahan didefinisikan sebagai “suatu lembaga non-struktural yang bersifat tripartit.”
Menjelaskan konsepsi ‘lembaga non-struktural’ itu sendiri saja sudah sulit.
Dewan Pengupahan dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, adalah lembaga non struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, yang dalam kerangka ini, kewenangan Dewan Pengupahan murni berasal dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga proses pembentukannya merupakan manifestasi hak prerogative Presiden.
Karena bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian, maka keberadaan Dewan Pengupahan seakan-akan ada dan tidak ada, tapi nampak.
Permasalahannya, untuk apa sebenarnya Dewan Pengupahan ini dibentuk? Mengapa kemudian (menurut anggapan Presiden) Dewan Pengupahan dianggap penting?
Pada bagian konsideran Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan dibentuk semata-mata untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tidak nampak alasan pedagogis yang sebenarnya layak untuk dijadikan panduan.
Artinya bahwa tujuan pembentukan Dewan Pengupahan ada di grey area alias tidak jelas (meskipun sebenarnya alasan ini debatable juga).
Pasal 98 UU No. 13/2003 memang menyatakan bahwa: “untuk memberikan saran, pertimbangan dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.”
Dengan melihat ketentuan inipun, sebenarnya karakter dari Dewan Pengupahan adalah sebagai lembaga non-struktural yang bersifat lembaga non-struktural advisory saja (selain bersifat tripartit tentunya).
Oleh karena hanya sebagai lembaga advisory saja, maka terpenuhilah sifat dasar Dewan Pengupahan: memberikan masukan, saran serta rekomendasi terhadap berbagai usahan perubahan yang dilakukan pemerintah, khususnya di bidang pengupahan.
Sementara karakter tripartit, hanya menunjuk pada keberadaannya yang terbentuk dari beberapa unsur, yakni Pemerintah, pengusaha dan pekerja.
Dewan Pengupahan terbagi menjadi 3 (wilayah), yakni Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dewan Pengupahan Nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional (Pasal 4 Keppres 107/2004).
Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan tidak ada yang memberikan ketegasan bagaimana wewenang Dewan Pengupahan Nasional yang sesungguhnya.
Tugas memberikan saran dan pertimbangan tidak memunculkan konsepsi kewenangan apapun bagi Dewan Pengupahan. Lalu kenapa harus dibentuk?
Dewan Pengupahan Provinsi memiliki tugas untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMS), penerapan sistem pengupahan di tingkat provinsi, dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Tugas Dewan Pengupahan Provinsi juga sama saja pada prinsipnya dengan Dewan Pengupahan Nasional, hanya saja ruang lingkupnya berbeda.
Sejalan dengan tugas itu, maka wewenang yang dimilikinya juga tidak begitu saja muncul.
Setidak-tidaknya hanya dua hal utama yang bilamana itu dapat disebut sebagai kewenangan, yakni Dewan Pengupahan Provinsi dapat membentuk komisi untuk melakukan tugas tertentu dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya.
Konteks kewenangannya pun menjadi sangat terbatas (sekalipun ada kewenangan lain yang berupa memberikan usul penggantian anggota).
Tidak jauh beda, Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota juga pada dasarnya memiliki ruang tugas yang sama dengan Dewan Pengupahan Provinsi, hanya ruang lingkupnya di tingkat Kabupaten/Kota saja.
Tugas Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seperti hanya mempersempit wilayah saja, yakni sebatas Kabupaten/Kota.
Akan tetapi, faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menjadi organ terdepan yang berhadapan terus menerus dengan masyarakat umum, khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
Itupun, momennya sangat terbatas. Misalnya, pada saat ‘musim’ penentuan upah.
>> Wewenang Spesial Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota <<
Tugas dan wewenang adalah dua konsep yang berbeda.
Meskipun pada dasarnya keduanya saling berkaitan.
Tugas merupakan sesuatu yang wajib dikerjakan atau sudah ditentukan untuk dilakukan; atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang, yakni pekerjaan yang dibebankan; atau suruhan (perintah) untuk melakukan sesuatu.
Berbeda dengan wewenang yang adalah hak/kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu.
Tugas Dewan Pengupahan memang nyata secara yuridis di dalam Keppres 107/2004.
Namun, di sisi lain tugas tersebut seharusnya berimplikasi pada hal-hal tertentu yang dapat dilakukan oleh yang diberikan tugas, yakni wewenang yang juga seharusnya tercantum secara jelas.
Wewenang Dewan Pengupahan tidak kemudian dinyatakan secara tegas.
Wewenang juga seharusnya memunculkan ruang koordinasi antara bagian yang satu dengan yang lainnya.
Menjadi aneh, karena tidak nampak di dalam Keppres 107/2004 tentang fungsi koordinasi antara Dewan Pengupahan Pusat, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Hal ini berarti bahwa tidak ada keterkaitan organisasi antar Dewan Pengupahan. Masing-masing Dewan Pengupahan tidak memiliki jalinan koordinasi antara yang satu dengan yang lainnya. Lembaga ini kemudian menjadi aneh.
Koordinasi antar Dewan yang tidak diakomodasi di dalam Keppres, menjadi salah satu penyebab munculnya masalah-masalah koordinasi.
Sesungguhnya, masing-masing dewan pengupahan tidak berhak menuntut satu sama lain. Dalam Keppres, hal ini tidak disediakan aturannya.
Dengan demikian, wajarlah kemudian pada prakteknya, Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bekerja secara sendiri-sendiri.
Tentu saja karena salah satu aspek tugasnya tidak ada keharusan untuk melaksanakan koordinasi dengan Dewan Pengupahan di tingkatan yang berbeda. Wewenang melakukan koordinasi juga tidak ada.
Karena tidak ada kaitan secara peraturan perundang-undangan, maka tidaklah ada kewajiban untuk menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lainnya.
Tabu secara hukum. Pada prakteknya, ternyata Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seringkali meminta Dewan Pengupahan Provinsi untuk melakukan sesuatu. Inilah dalam karakter hukum dapat dikategorisasikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Namun, juga berlaku prinsip selama tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka sesuatu perbuatan boleh dilakukan. Dewan Pengupahan boleh-boleh saja tidak berkoordinasi dengan Dewan Pengupahan lainnya. Sah bukan?
Dalam rangka menetapkan upah, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota ternyata punya wewenang yang spesial.
Hal ini dikarenakan ada Permenakertrans No. 12 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang mencantumkan hal-hal yang dapat dilakukan Dewan Pengupahan.
Selain yang diatur dalam Keppres 107/2004, yakni bahwa Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dapat membentuk gugus tugas dalam komisi dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya, Permenakertrans 13/2012 juga memberikan peluang kewenangan.
Kewenangan melalui Permenakertrans adalah ‘menetapkan kualitas dan spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL’ dan ‘membentuk tim survey KHL’, serta ‘menetapkan nilai KHL’.
Tiga hal inilah, menurut hemat saya, merupakan wewenang spesial dari Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Spesial karena: wewenang diadakan khusus dalam rangka merumuskan upah.
Akan tetapi, sekali lagi, bahwa keduanya sama sekali tidak dianjurkan bahkan di dalam Permenakertrans untuk melaksanakan suatu fungsi hubungan tertentu.
Masalah yang (bisa) muncul adalah bahwa bilamana Kualitas dan spesifikasi teknis komponen KHL ditetapkan? Siapa yang berhak? Penetapannya di dalam Permenakertrans dapat dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Intepretasi dari Pasal 3 ayat (1) dan (2):
1. Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang dilakukan secara berkala.
2. Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Yang berwenang dan berhak menentukan penetapan komponen dan jenis KHL adalah Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Secara definitif atau secara otentik, berarti ini menjadi pilihan. Kalau Dewan Pengupahan Provinsi sudah menetapkan, apakah boleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menetapkan pula? Aneh bin ajaib. Kalaupun sudah ditetapkan salah satu, apakah kemudian penetapan itu berlaku bagi yang lain? Ini masalah lagi.
Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, pembentukannya dilakukan oleh masing-masing kepala daerah. Implikasinya adalah bahwa masing-masing tidak memiliki hak untuk memaksakan aturan organiknya kepada yang lain. Sebaliknya, masing-masing juga tidak berhak untuk menuntut yang lain. Secara yuridis, hal ini ditabukan, karena tidak diatur. Meski sebenarnya bisa saja dilakukan karena tidak ada larangan.
Faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/kota sering menuntut agar Dewan Pengupahan Provinsi menetapkan panduan KHL untuk menjadi acuan bagi pelaksanaan survey KHL di wilayahnya masing-masing. Menurut saya, hal ini aneh. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bisa menetapkan sendiri jenis dan komponen KHL, asal tetap mengacu dasar hukum yang sama: Permenakertrans No. 13 Tahun 2012.
Yang diagungkan adalah hubungan industrial yang harmonis. Jadi, karakternya diharuskan bisa seragam. Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan wewenang spesialnya, tidak mengindikasikan adanya interaksi yang sepadan dengan situasi dan kondisi hubungan industrial yang sedang diperjuangkan untuk jadi harmonis. Catatan terpentingnya adalah bahwa ‘tugas’ dan ‘wewenang’ adalah berbeda.
Dewan Pengupahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota tidak kemudian menegaskan fungsi koordinasinya. Ke depan, Dewan Pengupahan akan tetap seperti ini bilamana peluang-peluang yang berkaitan dengan wewenangnya tidak diperjelas dalam kerangka hukum yang pasti. Inilah salah satu masalah dalam keberadaan lembaga non struktural. Pentingkah Dewan Pengupahan? Sementara di sisi lain ada yang disebut juga dengan Lembaga Kerjasama Tripartit yang kurang lebih secara keanggotaan juga digawangi oleh unsur yang sama. Satu-satunya tugas yang bisa mendorong agar ada interaksi satu dengan yang lain (yang nampak jelas) adalah: menerapkan sistem pengupahan nasional.
by Setyo Pamungkas on January 28, 2013
Upah minimum adalah sesuatu yang luar biasa belakangan ini.
Indonesia terkenal dengan tenaga kerjanya yang murah dan jumlahnya sangat banyak.
Upah minimum (yang katanya adalah jaring pengaman sosial-safety nett) diacu sebagai besarnya biaya yang ditanggung oleh pengusaha.
Sudah pasti dan terbukti bahwa pengusaha atau perusahaan mencari peluang agar upah yang dibayarkannya tidak menyebabkan aktivitas produksinya terganggu dan menimbulkan kerugian lain.
Upah minimum muncul dari usulan dan pembahasan yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Secara yuridis, Dewan Pengupahan diatur di dalam Keputusan Presiden No. 107 tentang Dewan Pengupahan.
Masing-masing tingkatan Dewan Pengupahan, memiliki kewenangannya masing-masing pula.
Memaknai fungsi Dewan Pengupahan, tidak jauh beda dengan memaknai suatu lembaga quasi yang sebenarnya antara bisa dibutuhkan atau tidak.
Serba mungkin di negara ini, dan lebih-lebih serba dimungkinkan. Dewan Pengupahan merupakan manifestasi kepentingan bangsa dan negara ini untuk mendorong adanya kesepakatan-kesepakatan dalam menentukan arah dari (salah satu faktor) pertumbuhan ekonomi.
Satu-satunya fungsi yang nampak dari Dewan Pengupahan: ‘memberikan saran dan pertimbangan’ khususnya untuk upah bagi pekerja.
Landasan hukum bagi Dewan Pengupahan, yang utama adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meskipun undang-undang ini telah diuji-materiilkan beberapa kali, tidak menyurutkan niatan untuk tetap mengamankan ketentuan-ketentuan di dalamnya.
Turunan undang-undang ini, yang secara spesifik mengatur mengenai Dewan Pengupahan adalah Keppres 107 Tahun 2004.
>> Wewenang Dewan Pengupahan <<
Berdasarkan Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan terbagi atas Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Mengkaji mengenai Dewan Pengupahan memang serba aneh.
Dalam Keppres tersebut, Dewan Pengupahan didefinisikan sebagai “suatu lembaga non-struktural yang bersifat tripartit.”
Menjelaskan konsepsi ‘lembaga non-struktural’ itu sendiri saja sudah sulit.
Dewan Pengupahan dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, adalah lembaga non struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, yang dalam kerangka ini, kewenangan Dewan Pengupahan murni berasal dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga proses pembentukannya merupakan manifestasi hak prerogative Presiden.
Karena bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian, maka keberadaan Dewan Pengupahan seakan-akan ada dan tidak ada, tapi nampak.
Permasalahannya, untuk apa sebenarnya Dewan Pengupahan ini dibentuk? Mengapa kemudian (menurut anggapan Presiden) Dewan Pengupahan dianggap penting?
Pada bagian konsideran Keppres 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan dibentuk semata-mata untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tidak nampak alasan pedagogis yang sebenarnya layak untuk dijadikan panduan.
Artinya bahwa tujuan pembentukan Dewan Pengupahan ada di grey area alias tidak jelas (meskipun sebenarnya alasan ini debatable juga).
Pasal 98 UU No. 13/2003 memang menyatakan bahwa: “untuk memberikan saran, pertimbangan dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.”
Dengan melihat ketentuan inipun, sebenarnya karakter dari Dewan Pengupahan adalah sebagai lembaga non-struktural yang bersifat lembaga non-struktural advisory saja (selain bersifat tripartit tentunya).
Oleh karena hanya sebagai lembaga advisory saja, maka terpenuhilah sifat dasar Dewan Pengupahan: memberikan masukan, saran serta rekomendasi terhadap berbagai usahan perubahan yang dilakukan pemerintah, khususnya di bidang pengupahan.
Sementara karakter tripartit, hanya menunjuk pada keberadaannya yang terbentuk dari beberapa unsur, yakni Pemerintah, pengusaha dan pekerja.
Dewan Pengupahan terbagi menjadi 3 (wilayah), yakni Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dewan Pengupahan Nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional (Pasal 4 Keppres 107/2004).
Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan tidak ada yang memberikan ketegasan bagaimana wewenang Dewan Pengupahan Nasional yang sesungguhnya.
Tugas memberikan saran dan pertimbangan tidak memunculkan konsepsi kewenangan apapun bagi Dewan Pengupahan. Lalu kenapa harus dibentuk?
Dewan Pengupahan Provinsi memiliki tugas untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMS), penerapan sistem pengupahan di tingkat provinsi, dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Tugas Dewan Pengupahan Provinsi juga sama saja pada prinsipnya dengan Dewan Pengupahan Nasional, hanya saja ruang lingkupnya berbeda.
Sejalan dengan tugas itu, maka wewenang yang dimilikinya juga tidak begitu saja muncul.
Setidak-tidaknya hanya dua hal utama yang bilamana itu dapat disebut sebagai kewenangan, yakni Dewan Pengupahan Provinsi dapat membentuk komisi untuk melakukan tugas tertentu dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya.
Konteks kewenangannya pun menjadi sangat terbatas (sekalipun ada kewenangan lain yang berupa memberikan usul penggantian anggota).
Tidak jauh beda, Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota juga pada dasarnya memiliki ruang tugas yang sama dengan Dewan Pengupahan Provinsi, hanya ruang lingkupnya di tingkat Kabupaten/Kota saja.
Tugas Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seperti hanya mempersempit wilayah saja, yakni sebatas Kabupaten/Kota.
Akan tetapi, faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menjadi organ terdepan yang berhadapan terus menerus dengan masyarakat umum, khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
Itupun, momennya sangat terbatas. Misalnya, pada saat ‘musim’ penentuan upah.
>> Wewenang Spesial Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota <<
Tugas dan wewenang adalah dua konsep yang berbeda.
Meskipun pada dasarnya keduanya saling berkaitan.
Tugas merupakan sesuatu yang wajib dikerjakan atau sudah ditentukan untuk dilakukan; atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang, yakni pekerjaan yang dibebankan; atau suruhan (perintah) untuk melakukan sesuatu.
Berbeda dengan wewenang yang adalah hak/kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu.
Tugas Dewan Pengupahan memang nyata secara yuridis di dalam Keppres 107/2004.
Namun, di sisi lain tugas tersebut seharusnya berimplikasi pada hal-hal tertentu yang dapat dilakukan oleh yang diberikan tugas, yakni wewenang yang juga seharusnya tercantum secara jelas.
Wewenang Dewan Pengupahan tidak kemudian dinyatakan secara tegas.
Wewenang juga seharusnya memunculkan ruang koordinasi antara bagian yang satu dengan yang lainnya.
Menjadi aneh, karena tidak nampak di dalam Keppres 107/2004 tentang fungsi koordinasi antara Dewan Pengupahan Pusat, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Hal ini berarti bahwa tidak ada keterkaitan organisasi antar Dewan Pengupahan. Masing-masing Dewan Pengupahan tidak memiliki jalinan koordinasi antara yang satu dengan yang lainnya. Lembaga ini kemudian menjadi aneh.
Koordinasi antar Dewan yang tidak diakomodasi di dalam Keppres, menjadi salah satu penyebab munculnya masalah-masalah koordinasi.
Sesungguhnya, masing-masing dewan pengupahan tidak berhak menuntut satu sama lain. Dalam Keppres, hal ini tidak disediakan aturannya.
Dengan demikian, wajarlah kemudian pada prakteknya, Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bekerja secara sendiri-sendiri.
Tentu saja karena salah satu aspek tugasnya tidak ada keharusan untuk melaksanakan koordinasi dengan Dewan Pengupahan di tingkatan yang berbeda. Wewenang melakukan koordinasi juga tidak ada.
Karena tidak ada kaitan secara peraturan perundang-undangan, maka tidaklah ada kewajiban untuk menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lainnya.
Tabu secara hukum. Pada prakteknya, ternyata Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota seringkali meminta Dewan Pengupahan Provinsi untuk melakukan sesuatu. Inilah dalam karakter hukum dapat dikategorisasikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Namun, juga berlaku prinsip selama tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka sesuatu perbuatan boleh dilakukan. Dewan Pengupahan boleh-boleh saja tidak berkoordinasi dengan Dewan Pengupahan lainnya. Sah bukan?
Dalam rangka menetapkan upah, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota ternyata punya wewenang yang spesial.
Hal ini dikarenakan ada Permenakertrans No. 12 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang mencantumkan hal-hal yang dapat dilakukan Dewan Pengupahan.
Selain yang diatur dalam Keppres 107/2004, yakni bahwa Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dapat membentuk gugus tugas dalam komisi dan mengatur lebih lanjut tentang tata kerjanya, Permenakertrans 13/2012 juga memberikan peluang kewenangan.
Kewenangan melalui Permenakertrans adalah ‘menetapkan kualitas dan spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL’ dan ‘membentuk tim survey KHL’, serta ‘menetapkan nilai KHL’.
Tiga hal inilah, menurut hemat saya, merupakan wewenang spesial dari Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Spesial karena: wewenang diadakan khusus dalam rangka merumuskan upah.
Akan tetapi, sekali lagi, bahwa keduanya sama sekali tidak dianjurkan bahkan di dalam Permenakertrans untuk melaksanakan suatu fungsi hubungan tertentu.
Masalah yang (bisa) muncul adalah bahwa bilamana Kualitas dan spesifikasi teknis komponen KHL ditetapkan? Siapa yang berhak? Penetapannya di dalam Permenakertrans dapat dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Intepretasi dari Pasal 3 ayat (1) dan (2):
1. Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang dilakukan secara berkala.
2. Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Yang berwenang dan berhak menentukan penetapan komponen dan jenis KHL adalah Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Secara definitif atau secara otentik, berarti ini menjadi pilihan. Kalau Dewan Pengupahan Provinsi sudah menetapkan, apakah boleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota menetapkan pula? Aneh bin ajaib. Kalaupun sudah ditetapkan salah satu, apakah kemudian penetapan itu berlaku bagi yang lain? Ini masalah lagi.
Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, pembentukannya dilakukan oleh masing-masing kepala daerah. Implikasinya adalah bahwa masing-masing tidak memiliki hak untuk memaksakan aturan organiknya kepada yang lain. Sebaliknya, masing-masing juga tidak berhak untuk menuntut yang lain. Secara yuridis, hal ini ditabukan, karena tidak diatur. Meski sebenarnya bisa saja dilakukan karena tidak ada larangan.
Faktanya adalah bahwa Dewan Pengupahan Kabupaten/kota sering menuntut agar Dewan Pengupahan Provinsi menetapkan panduan KHL untuk menjadi acuan bagi pelaksanaan survey KHL di wilayahnya masing-masing. Menurut saya, hal ini aneh. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota bisa menetapkan sendiri jenis dan komponen KHL, asal tetap mengacu dasar hukum yang sama: Permenakertrans No. 13 Tahun 2012.
Yang diagungkan adalah hubungan industrial yang harmonis. Jadi, karakternya diharuskan bisa seragam. Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan wewenang spesialnya, tidak mengindikasikan adanya interaksi yang sepadan dengan situasi dan kondisi hubungan industrial yang sedang diperjuangkan untuk jadi harmonis. Catatan terpentingnya adalah bahwa ‘tugas’ dan ‘wewenang’ adalah berbeda.
Dewan Pengupahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota tidak kemudian menegaskan fungsi koordinasinya. Ke depan, Dewan Pengupahan akan tetap seperti ini bilamana peluang-peluang yang berkaitan dengan wewenangnya tidak diperjelas dalam kerangka hukum yang pasti. Inilah salah satu masalah dalam keberadaan lembaga non struktural. Pentingkah Dewan Pengupahan? Sementara di sisi lain ada yang disebut juga dengan Lembaga Kerjasama Tripartit yang kurang lebih secara keanggotaan juga digawangi oleh unsur yang sama. Satu-satunya tugas yang bisa mendorong agar ada interaksi satu dengan yang lain (yang nampak jelas) adalah: menerapkan sistem pengupahan nasional.
sumber:
http://setyopamungkas.wordpress.com/2013/01/28/dewan-pengupahan-wewenang-dan-tugasnya-kini-dan-nanti/
BPJS Program Jaminan Hari Tua
Program Jaminan Hari Tua
Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial ini menggunakan mekanisme Asuransi Sosial.
>>> Program Jaminan Hari Tua <<<
Definisi
Program Jaminan Hari Tua ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu.
Iuran Program Jaminan Hari Tua:
>> Ditanggung Perusahaan = 3,7%
>> Ditanggung Tenaga Kerja = 2%
Kemanfaatan Jaminan Hari Tua adalah sebesar akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.
Jaminan Hari Tua akan dikembalikan/dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah dengan hasil pengembangannya, apabila tenaga kerja:
- Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap
- Berhenti bekerja yang telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan
- Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/POLRI/ABRI
>>> Tata Cara Pengajuan Jaminan <<<
1.> Setiap permintaan JHT, tenaga kerja harus mengisi dan menyampaikan formulir 5 BPJS Ketenagakerjaan kepada kantor BPJS Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan:
a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli
b. Kartu Identitas diri KTP/SIM (fotokopi)
c. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial
d. Kartu Keluarga (KK)
2.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang mengalami cacat total dilampiri dengan Surat Keterangan Dokter
3.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia dilampiri dengan:
a. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia
b. Photocopy Paspor
c. Photocopy VISA
4.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggal dunia sebelum usia 55 thn dilampiri:
a. Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit/Kepolisian/Kelurahan
b. Photocopy Kartu keluarga
5.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 thn telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun telah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja, dilampiri dengan:
a. Photocopy surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan
b. Surat pernyataan belum bekerja lagi
c. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang menjadi Pegawai Negeri Sipil/POLRI/ABRI
Selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan tersebut BPJS Ketenagakerjaan melakukan pembayaran JHT
Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial ini menggunakan mekanisme Asuransi Sosial.
>>> Program Jaminan Hari Tua <<<
Definisi
Program Jaminan Hari Tua ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu.
Iuran Program Jaminan Hari Tua:
>> Ditanggung Perusahaan = 3,7%
>> Ditanggung Tenaga Kerja = 2%
Kemanfaatan Jaminan Hari Tua adalah sebesar akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.
Jaminan Hari Tua akan dikembalikan/dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah dengan hasil pengembangannya, apabila tenaga kerja:
- Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap
- Berhenti bekerja yang telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan
- Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/POLRI/ABRI
>>> Tata Cara Pengajuan Jaminan <<<
1.> Setiap permintaan JHT, tenaga kerja harus mengisi dan menyampaikan formulir 5 BPJS Ketenagakerjaan kepada kantor BPJS Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan:
a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli
b. Kartu Identitas diri KTP/SIM (fotokopi)
c. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial
d. Kartu Keluarga (KK)
2.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang mengalami cacat total dilampiri dengan Surat Keterangan Dokter
3.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia dilampiri dengan:
a. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia
b. Photocopy Paspor
c. Photocopy VISA
4.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggal dunia sebelum usia 55 thn dilampiri:
a. Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit/Kepolisian/Kelurahan
b. Photocopy Kartu keluarga
5.> Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 thn telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun telah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja, dilampiri dengan:
a. Photocopy surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan
b. Surat pernyataan belum bekerja lagi
c. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang menjadi Pegawai Negeri Sipil/POLRI/ABRI
Selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan tersebut BPJS Ketenagakerjaan melakukan pembayaran JHT
Daftar Lengkap UMK 2015 Jawa timur
Gubernur Jatim Soekarwo telah menetapkan besaran UMK 2015 untuk 38 kabupaten/kota di Jatim.
UMK 2015 di Kota Surabaya berada di posisi tertinggi, sedangkan UMK terendah untuk Kabupaten Magetan.
Keputusan besaran UMK 2015 di Jatim tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 72 Tahun 2014
Berikut rinciannya:
1. Kota Surabaya Rp 2.710.000
2. Kabupaten Gresik Rp 2.707.500
3. Kabupaten Sidoarjo Rp 2.705.000
4. Kabupaten Pasuruan Rp 2.700.000
5. Kabupaten Mojokerto Rp 2.695.000
6. Kabupaten Malang Rp 1.962.000
7. Kota Malang Rp 1.882.250
8. Kota Batu Rp 1.817.000
9. Kabupaten Jombang Rp 1.725.000
10. Kabupaten Tuban Rp 1.575.500
11. Kota Pasuruan Rp 1.575.000
12. Kabupaten Probolinggo Rp 1.556.800
13. Kabupaten Jember Rp 1.460.500
14. Kota Mojokerto Rp 1.437.500
15. Kota Probolinggo Rp 1.437.500
16. Kabupaten Banyuwangi Rp 1.426.000
17. Kabupaten Lamongan Rp 1.410.000
18. Kota Kediri Rp 1.339.750
19. Kabupaten Bojonegoro Rp 1.311.000
20. Kabupaten Kediri Rp 1.305.250
21. Kabupaten Lumajang Rp 1.288.000
22. Kabupaten Tulungagung Rp 1.273.050
23. Kabupaten Bondowoso Rp 1.270.750
24. Kabupaten Bangkalan Rp 1.267.300
25. Kabupaten Nganjuk Rp 1.265.000
26. Kabupaten Blitar Rp 1.260.000
27. Kabupaten Sumenep Rp 1.253.500
28. Kota Madiun Rp 1.250.000
29. Kota Blitar Rp 1.250.000
30. Kabupaten Sampang Rp 1.243.200
31. Kabupaten Situbondo Rp 1.231.650
32. Kabupaten Pamekasan Rp 1.209.900
33. Kabupaten Madiun Rp 1.201.750
34. Kabupaten Ngawi Rp 1.196.000
35. Kabupaten Ponorogo Rp 1.150.000
36. Kabupaten Pacitan Rp 1.150.000
37. Kabupaten Trenggalek Rp 1.150.000
38. Kabupaten Magetan Rp 1.150.000
UMK 2015 di Kota Surabaya berada di posisi tertinggi, sedangkan UMK terendah untuk Kabupaten Magetan.
Keputusan besaran UMK 2015 di Jatim tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 72 Tahun 2014
Berikut rinciannya:
1. Kota Surabaya Rp 2.710.000
2. Kabupaten Gresik Rp 2.707.500
3. Kabupaten Sidoarjo Rp 2.705.000
4. Kabupaten Pasuruan Rp 2.700.000
5. Kabupaten Mojokerto Rp 2.695.000
6. Kabupaten Malang Rp 1.962.000
7. Kota Malang Rp 1.882.250
8. Kota Batu Rp 1.817.000
9. Kabupaten Jombang Rp 1.725.000
10. Kabupaten Tuban Rp 1.575.500
11. Kota Pasuruan Rp 1.575.000
12. Kabupaten Probolinggo Rp 1.556.800
13. Kabupaten Jember Rp 1.460.500
14. Kota Mojokerto Rp 1.437.500
15. Kota Probolinggo Rp 1.437.500
16. Kabupaten Banyuwangi Rp 1.426.000
17. Kabupaten Lamongan Rp 1.410.000
18. Kota Kediri Rp 1.339.750
19. Kabupaten Bojonegoro Rp 1.311.000
20. Kabupaten Kediri Rp 1.305.250
21. Kabupaten Lumajang Rp 1.288.000
22. Kabupaten Tulungagung Rp 1.273.050
23. Kabupaten Bondowoso Rp 1.270.750
24. Kabupaten Bangkalan Rp 1.267.300
25. Kabupaten Nganjuk Rp 1.265.000
26. Kabupaten Blitar Rp 1.260.000
27. Kabupaten Sumenep Rp 1.253.500
28. Kota Madiun Rp 1.250.000
29. Kota Blitar Rp 1.250.000
30. Kabupaten Sampang Rp 1.243.200
31. Kabupaten Situbondo Rp 1.231.650
32. Kabupaten Pamekasan Rp 1.209.900
33. Kabupaten Madiun Rp 1.201.750
34. Kabupaten Ngawi Rp 1.196.000
35. Kabupaten Ponorogo Rp 1.150.000
36. Kabupaten Pacitan Rp 1.150.000
37. Kabupaten Trenggalek Rp 1.150.000
38. Kabupaten Magetan Rp 1.150.000
Langganan:
Postingan (Atom)